Cerpen 2

Konten [Tampil]

PANGGIL AKU BU MUSLIMAH!

(By:Yurmawita Adismal)

           

            “Jika dua digit dibelakang koma maka salahkan saja.”
            Betul-betul tidak manusiawi wanita yang satu ini. Menentukan Standar Deviasi harus tepat betul, yang hanya menuliskan dua digit dibelakang koma terpaksa tidak mendapatkan nilai. Apalah artinya bilangan dua digit di belakang koma? Jika dibulatkan dengan pembulatan ratusan maka tentu tak akan mengubah nilai sesungguhnya bilangan itu. Namun tidak bagi dia, segalanya harus pas dengan kemauan nya. Menyimpang sedikit artinya sudah tak sesuai dengan jawaban sebenarnya.
            Mata Bayu menyambar tubuh Muslimah. Kali kedua ia terpaksa menahan geram. Tubuh saja yang mungil namun hati sang guru bagai baja yang tak mampu di tembus oleh senjata apapun. Tidak juga oleh Bayu. Cukuplah kejadian menghitung nilai Limit tak hingga dari pecahan yang mempunyai pangkat tiga variabel dibagi pangkat empat variabel saja ia dipermalukan di hadapan teman-temannya. Baginya  memakai sistem pemfaktoran merupakan cara untuk mendapatkan nilai Limit di tak hingga tersebut. Namun ternyata pendapatnya dibantah habis-habisan oleh sang guru.
“Bagi dulu dengan pangkat tertinggi kemudian di masukkan nilai limit tak hingga nya!”
            Bayu pun terhempas di cadas ketika sang guru mati-matian menghinanya di hadapan teman-temannya. Tangannya mengepal. Lalu ia pun keluar dan sebuah kursi taman menjadi sasaran tinjunya, hancur menyisakan kepingan-kepingan semen bercampur pasir yang menyerbuk.
            Dan kali kedua ia pun harus mengalami hal serupa. Sepele sekali. Hanya karena ia menuliskan 56,42 untuk nilai standar deviasi yang diminta di soal ulangan harian. Ia membulatkan dari nilai semula yakni 56,416.
            Cih…Bayu meludahi posisinya. Sayang ia harus duduk di bangku ini. Hanya takdir saja yang membuatnya masih terdaftar di sekolah ini. Kalau kemauan dan kemampuan barangkali sudah sama seperti Muslimah. Masuk SD sudah berumur 8 tahun, menganggur ketika tamat SD 1 tahun, kemudian harus pula menunggu tahun berikutnya untuk masuk SMA. Tentu secara umur ia sama dengan Muslimah, hanya soal nasib saja yang berbeda.
              Tinta merah untuk kertas ulangan harian Bayu. Hanya kurang 0,5 dari angka sempurna. Dan itu pun tidak manusiawi. Ia bertekad harus menyelesaikan secara humanisme.
 Gemuruh di dada Bayu kian menggema manakala ia tak sampai hati menginjak rumah yang lebih pantas disebut sebagai ‘gubuk’. Rumah itu benar adalah rumah Muslimah, guru berhati baja. Ia mendapatkan alamat rumah sang guru dari Bu Atik.
Karuan saja hatinya berkecamuk. Tak sampai hati ia memaki Muslimah. Ia harus segera menyingkir dari tempat itu, mengurungkan niatnya untuk menuntut hak atas kecerdasannya. Namun belum lagi badannya berbalik arah. Sesosok Muslimah pun sudah tersenyum di daun pintu.
“Setiap keberhasilan harus dicapai dengan kerja keras. Setiap keberhasilan juga harus di gapai dengan kecermatan, sebuah keberhasilan harus dicapai dengan sikap Tawadlu. Dan kamu sangatlah jauh dari sifat itu, Nak!”
Bayu tertunduk. “Tidaak…aku tak mau dipanggil ‘Nak’ “ bisiknya.
Sampai akhirnya ia harus mengakui kehebatan sang Guru. Muslimah memang pandai menutupi segala kekurangannya sampai-sampai tak seorang pun tahu jika dia harus berjuang ditengah keterbatasan ekonomi keluarganya. Seorang lelaki tua tengah terkapar di dalam rumah itu. Sifat keras tak tersaingi yang melekat padanya, hanyalah sebuah rekayasa bagi kerapuhan jiwanya. Muslimah berjuang sendiri di tengah kemelaratan keluarganya. Menjadi guru honorer di beberapa sekolah.
Bayu pamit. Ia sudah cukup punya sesuatu yang membuat tekadnya pun semakin membaja. Ia akan segera memanggil Muslimah dengan sebutan Bu Muslimah, meski dulu sempat tak diinginkannya lantaran ketinggian hati sang Guru.
Bayu merangkak mengejar mimpi. Lulus SMA ia pun memasuki dunia lain, dunia penuh mimpi, bermodalkan kemampuan imajinasinya ia pun bekerja di belakang monitor. Merangkai kata menuju puncak impian. Satu, dua, tiga buah buku karyanya melambungkan namanya.  Sampai akhirnya ia pun sudah punya impian lain yang segera nyata.  
Kembali ia menyusuri jalan becek ke sebuah ‘gubuk’ yang dulu pernah ia singgahi. Sekitar 1 kilometer dari arena STQ yang pernah menggaungkan nama Bengkulu di kancah nasional. Namun ia tercengang. Gubuk itu sudah menjadi sebuah rumah bertingkat dihuni oleh si air liur emas. Seseorang menyulap gubuk Muslimah menjadi sarang walet. Bayu berlari mengejar sekelompok anak muda yang sedang bermain gaplek di suduk gang.
“Muslimah?”
“Yang dulunya guru di Madrasyah, anak Pak Rasyid?”
Semua terdiam . Bayu tak pernah sabar menanti. Ia pun melacak kalimat pemuda bertubuh gempal di depannya.
Tuh di sono, ujung. Samping Mesjid. Yang ada Kamboja dan Puringnya.”
Bayu segera menyambar Avanza miliknya, mengikuti arah telunjuk si Hitam. ia menuju Mesjid yang di tunjuk oleh pemuda tersebut. Ia pun di hadapkan pada hamparan tanah. Sebagian sudah menyemak. Dan yang lain memang di tumbuhi kamboja dan puring. Dua buah onggokan tanah bergandeng di kedua sisinya. Dan Bayu mengeja huruf-huruf itu. Muslimah Binti Rasyid. Onggokan tanah di sebelahnya, bertuliskan Rasyid bin Abdi. Dan Bayu pun lunglai, menangisi kebodohan dan ketidak cermatannya,
Andai saja ia tak tinggi hati untuk sekadar memberitahukan lewat  surat saja, akan maksud hatinya, mungkin saat ini ia sudah mendapatkan impian yang terpendam direlung hatinya kala itu. 
Dan Bayu memang harus memanggilnya dengan sebutan Bu Muslimah, tidak yang lain.  Seperti mimpi-mimpinya. Sepasang cincin yang dipersiapkan terjatuh dari dalam sakunya saat ia tertunduk di tanah perkuburan itu.
Kanker paru-paru yang disembunyikan Muslimah di balik sikap bajanya, rupanya tak lagi bisa berkompromi. Dan ia pun menyusul sang ayah dengan penyakit yang sama pula. (Bengkulu,24 Maret 2011)


Istana Pasir

(Yurmawita Adismal)


            Mata itu kian berbinar. Ditambah terpaan cahaya matahari sore, semakin berkilau. Lama tatapan itu menghujamku. Seakan minta kuulangi ucapan tadi. Ada bongkahan di dada ini yang semakin besar, semakin memanas bersamaan dengan binaran mata itu. Ku coba memalingkan pandanganku ke arah bocah-bocah yang sedang membuat istana pasir tak jauh dari tempat kami berdiri mematung.
            Tak boleh. Aku tidak boleh menangis. Cih...bukankah aku menyayanginya? Sangat menyayanginya. Alasan apa lagi yang membuatku tidak bersyukur atas anugerah dirinya untukku, setidaknya itu yang pernah kuutarakan sama teman-teman ketika menanyakan perihal keputusan besar ini tiga tahun yang lalu. Saat menyampaikan undangan kepada mereka sobat-sobat tersayangku. Seminggu sebelum pernikahanku dengan mas Ari.
            ”kau mengorbankan masa mudamu Vi.” singgung Dian merespon maksudku.
            ”Kuliahmu?” Mira mencibir.
Aku berhasil berapologi dihadapan dara-dara manis itu bahwa pernikahan bagiku adalah upaya membentengi masa mudaku, bahwa pernikahan bukanlah halangan untuk bersenang-senang, pernikahan juga merupakan komitmenku untuk membangun masa depan bersama anak-anakku nanti. Dan kuliah, kurasa itu bisa dilakukan saat ada komunikasi dengan suamiku nanti, toh kami sama-sama berlatar belakang orang berpendidikan.
Hati ku kian gerimis. Beberapa kali air liur kutelan guna menetralisir perasaanku saat ini. Mas Ari masih menatapku ragu.
”Vivi rela mas...” ujarku sambil tersenyum.”Justru Vivi tidak mau memenjarakan mas dalam keterbatasan ini. Mas punya kesempatan untuk berbuat lebih banyak. Sementara jika terus begini Vivi merasa mendzolimi mas...” tangisku akhirnya pecah juga. Mas Ari mendekapku.
Waktu tiga tahun cukup bagi ku menilai betapa besar cinta mas Ari padaku. Suka duka bersamanya menjalani kehidupan rumah tangga sudah lebih dari cukup memberi arti tentang cinta mas Ari kepadaku . Tahun pertama kami lewati dengan kegetiran, setiap bulan kami asyik dengan kalender. Menghitung masa-masa kritis, ketika yang ditunggu tak juga hadir, badai kegelisahan mulai merasuki sedikit demi sedikit impian kami.
 Telat. Kata itulah yang seyogyanya sangat kami tunggu-tunggu. Hingga sampai pada keputusan bahwa aku tidak sempurna. Meski hati kecilku masih membantah vonis itu. Namun rasa cintaku pada mas Ari membuat ku percaya diri mengemukakan keputusan terpahit ini. Harus ada seseorang yang melengkapi ketidaksempurnaan ini.
Awalnya mas Ari tidak setuju tentang ideku. Gila. Akupun mengerti bahwa sebetulnya ia sangat menyayangiku. Meski kadangkala, terdengar desahan nafasnya ketika mendengar kabar sahabat-sahabat kami dulu yang nikahnya belakangan sudah menimang bayi.   Ataupun ketika menghadiri syukuran atas kelahiran anak rekan kerjanya. Namun tak pernah sedikitpun ia mengutarakan kegelisahannya atas cobaan yang menimpa kami kepada siapapun, juga sama aku istrinya yang sudah jelas-jelas tidak sempurna.
Mas Ari juga tidak pernah sedikitpun menyinggung tentang betapa rindunya ia dengan kehadiran buah hati, betapa inginnya ia bercanda dengan anaknya sendiri. Namun tak bisa juga ia sembunyikan dariku, seringkali matanya tak dapat berbohong manakala kami berpapasan dengan  keluarga muda yang berboncengan naik motor, disela-selanya menyembul kaki kecil yang terbalut sepatu  wol lembut. Atau saat jalan pagi di Pantai Panjang setiap minggu bertemu dengan istana-istana pasir yang dibangun oleh tangan-tangan mungil dipandu oleh bapak dan ibunya.
Tanpa sepengatahuan mas Ari, beberapa teman lamaku yang belum menikah telah kuinteli. Satu persatu dari mereka kudatangi hanya sekedar ingin tahu pribadinya. Dan akhirnya ada tiga nama yang menurutku layak.
”jangan bohongi perasaanmu Vi...” Kak Rani mencoba menyelami maksudku ketika kuutarakan keputusan ini padanya. Bibi sekaligus temanku cerita dari kecil. Kak Rani menatap tajam kearah mataku. Pandangannya begitu menyiksa saat itu. Akupun tahu bahwa dulu saat keputusan menikah dengan mas Ari, kak Rani yang banyak memberikan masukan tentang pernak-pernik rumah tangga. Waktu 6 tahun berumah tangga cukup baginya mengoleksi berbagai permasalahan didalamnya. Tentu beliau tahu pasti bagaimana perasaan seorang wanita, apalagi diriku, luar dalam diketahuinya.
”Vivi sangat mencintainya Kak...” tak urung air mataku mengalir deras. Gumpalan sesak di dadaku akhirnya pecah. Kak Rani mendekapku erat ”Vivi sungguh menyayangi mas Ari Kak, Sungguh. Vivi gak tega lihat mas Ari menderita ketika menghadapi berbagai pertanyaan dari orang-orang di sekitarnya tentang kami. Vivi gak ingin dia tersiksa Kak... Vivi mencintainya...”
Kak Rani diam  cukup lama menanti redanya tangisku, kemudian ia beranjak keluar meninggalkanku sendiri. Tak lama kemudian ia datang dengan segelas air putih lalu menyodorkan kepadaku.
Cukup lama juga meyakinkan Kak Rani tentang maksudku. Kali kelima aku silaturahim ke rumahnya untuk meyakinkan akan keseriusan keputusan ini baru ia mengangguk, itupun dengan berbagai pesan berantai yang mengiringi kata iya-nya.

                                                *  *  *

”Calon mempelai laki-laki dipersilahkan mengambil tempat di hadapan majelis penghulu” suara mikropon dari ruang mesjid An Nur yang cukup sejuk pagi itu menggema dari berbagai sudut-sudutnya. Badan atletis mas Ari menjadi objek pandangan dari seluruh tamu yang mengikuti proses ritual itu. Pernikahan Ari Nugroho dengan Naning Widya Lestari akan digelar beberapa menit lagi.
Ku coba mengatur nafas dalam. Aku tersenyum ketika beberapa pasang mata melirikku sesaat. Orang tua mas Ari yang juga masih merupakan mertuaku  menunduk ketika aku sempatkan meliriknya. Begitu juga dengan saudara-saudara mas Ari, mbak Tati, mbak Wiwid, De Galih menatapku seakan mau memastikan keikhlasanku dimadu.
Prosessi yang pernah juga kurasakan tiga tahun lalu akhirnya selesai juga. Sesaat ku lirik Naning mencium tangan suaminya. Hatiku bergemuruh, gumpalan didadaku tiba-tiba menyekat pernafasanku. Sejenak aku menghela nafas.
Simpan air matamu Vi...., bukankah kaupun juga pernah merasakan hal seperti itu? Merasakan betapa syahdu dan harunya kala pertama kau mencium tangan suamimu? Biar saja Naning yang merasakan kesyahduan itu sekarang...
Detik berikutnya ku sempat melirik mas Ari menarik bahu Naning. Bibir mas Ari mengembang saat itu. Sebuah kecupan mesra telah juga dirasakan oleh Naning saat itu.
Dadaku semakin bergemuruh. Ayo Vi... kenapa kamu harus kalah dengan perasaanmu saat ini? Bukankah dulu kaupun mengalaminya?. Benar. Aku pun mengalaminya, bahkan bukan hanya saat itu, selama tiga tahun kecupan itu selalu milikku, menjadi menu sehari-hari kami.
Kepalaku kian berat saat mas Ari menghampiriku, dibelakangnya ada Naning. Aku menatap mata mas Ari. Ada lubuk disana. Mata yang senantiasa berbinar ketika menceritakan tentang keberhasilkannya, kebahagiannya, kesuksesan yang ia temui.   Saat ini sedang menyelami perasaanku, istrinya. Yah...istri pertamanya yang tidak sempurna.
Bibir mas Ari terbuka, bersamaan dengan itu lubuk itu tak dapat dibendungnya. Mas Ari memelukku. Cengkraman tangannya begitu kuat, membuatku tak bisa bernafas. Aku tersadar bahwa bukan saatnya harus mendramatisir perasaanku. Tidak adil rasanya harus menyakiti hati Naning, ia harus berbahagia saat ini. Paling tidak aku harus meyakinkan semua orang bahwa aku bukanlah tipe perempuan cengeng apalagi kekanak-kanakan. Vivi Rahma adalah seorang wanita tegar sekokoh karang. Setidaknya itu yang kuingat pesan Almarhummah Ibu saat memberi wejangan di hari pernikahanku tiga tahun lalu. Vivi Rahma punya kepribadian tangguh.
Cinta di dunia bukankah tidak boleh menjadi sesembahan dalam hidup ini, ia bisa saja pergi jika dikehendaki-Nya. Datang dan pergi, itulah cinta yang tidak pernah bisa abadi, tentunya jika masih di dunia ini.  Kalimat diplomatis Kak Rani bulan lalu ikut juga menggerakkan tanganku untuk menepuk-nepuk bahu mas Ari agar tegar.
Aku terpaksa sedikit mendorong bahu mas Ari agar tersadar bahwa tindakannya sedikit kurang tepat saat ini. Ku lihat Naning menunduk dalam. Aku tersenyum kepada  mas Ari sambil menghapus air matanya. Perasaanku sedikit bisa dinetralisir saat ini.    Setidaknya posisiku sebagai istri tertua. Mereka adalah seperti adik-adikku saat ini. Adik-adik yang sedang berbahagia, akupun seyogyanya harus bahagia. Setidaknya dihadapan mereka.
Ah...

                                                *  *  *

Untuk pertama kalinya selama tiga tahun belakangan kakiku menginjak pasir Pantai Panjang minggu ini, tidak ditemani siapa-siapa. Tidak mas Ari, seperti yang setiap mingggu kami jalani selama tiga tahun, tidak juga Mira dan Dian yang senantiasa komitmen terhadap janji bulanan, setiap bulan minggu keempat janjian di pantai sambil refresing setelah penat dengan tugas-tugas kuliah dulu saat masih di kampus, atau tepatnya sebelum hadir mas Ari.
”istananya bagus De...” tegurku pada dua orang anak kecil yang sedang asyik membangun istana pasir. Tak jauh dari tempat mereka bermain sepasang suami istri sedang bergelut di kejar ombak-ombak kecil, kadang tertawa bersama, tak lama terdengar jeritan sang istri yang dikerjai suaminya. Aku tersenyum kecil. Perfect.
Ada banyak cara untuk menghibur hati ini. Setidaknya dengan ikut tersenyum saat melihat orang lain tertawa riang, pun mencari pembenaran terhadap takdir sehingga mampu menjawab sendiri pertanyaan yang kadang kala terasa tidak adil. Ah... tidak usah sedih Vi... bukankah jika kesabaran yang menjadi teman setiamu maka selalu akan kau temui kisi-kisi hatimu yang selalu ceria, karena kamu tahu bahwa setiap takdir pasti ada jawabnya.
Pun saat ini, saat kau begitu berharap ada komitmen dari mas Ari akan janjinya sebelum ia menerima tawaranmu untuk menikahi Naning,
”Cinta kita tak akan berkurang De...meski waktu saja yang terasa sedikit singkat. Mas janji akan memberikan hakmu atas cinta ini walau ada dia yang menjadi pelengkap cinta itu.
”Ah.. nanti terasa tidak adil oleh Naning, Vivi gak maksa mas harus menyerahkan waktu separuh untuk Vivi, asal mas ingat aja Vivi sudah senang” sebenarnya itu sudah kelonggaran dari janji pertama mas Ari bahwa akan senantiasa melibatkanku dalam kehidupannya bersama Naning nantinya.
”Tidak De... bagaimanapun posisimu di hati mas tidak akan tersingkirkan walau sudah ada Naning...” tanganku terasa membeku dicengkram mas Ari.”mas akan mengatur jadwal kita bersama sehingga tidak ada yang terdzolimi.”
”Terserah mas...”

Dan detik itu pun berlalu, ada guratan lembayung dihatiku kala mengingat janji mas Ari. Sama seperti minggu-minggu sebelumnya, minggu ini pun aku tetap menatap bangunan istana pasir di Pantai Panjang sendiri. Sama juga seperti minggu sebelumnya istana pasir yang dibangun anak- anak masih bisa kunikmati, akupun masih bisa tersenyum ketika terdengar jeritan sang istri yang dikerjai suaminya, berlari-lari dikejar ombak.
Tuhan... begitu indah takdirmu ini kunikmati, sangat besar perhatianmu terhadapku, tak sedikitpun harapan yang sempurna kau berikan. Namun keyakinanku semakin kuat bahwa anugerah cinta yang kau berikan adalah pelengkap takdirmu saat ini.
”Wah.... indah sekali istana pasirnya, boleh tante ikut menambahkan satu bangunan lagi?” seorang bocah perempuan asyik dengan bangunan istana pasir di depannya. Sejenak ia menatapku. Ia tersenyum. Sedikit ku tersentak, senyum itu mengingatkanku pada seseorang... Ah...seseorang yang pernah mengisi hatiku hingga saat ini.
Tak lama, bocah perempuan itu berlari menjauh dariku, meninggalkan ku sendiri. Pandanganku tertumpu pada sepasang suami istri yang sedang menyongsong anak itu. Aku terpana. Sangat sulit melupakan bentuk daun telinga yang menelungkup dan bahu yang tangguh milik lelaki itu. Ketiganya semakin menjauh dari tempatku, dan semakin mampu menyempurnakan takdir itu. Aku tidak sempurna Tuhan... bukankah begitu?     

                                                                                Bumi Rafflesia, 10 Maret 2006

Biodata Penulis

Yurmawita Adismal, bekerja sebagai guru. Alamat saat ini, Perum Kemiling Permai Blok A3.No 40 Rt.14 Kel.Kemiling Permai Kec.Selebar Kota Bengkulu. Mempunyai hobi menulis sejak SMA. Karya pernah dimuat di salah satu majalah remaja pada tahun 1998. Hingga saat ini merupakan anggota FLP Bengkulu, ikut dalam grup Ibu-ibu Doyan Menulis di Dunia Maya. Karya penulis di tahun 2011 berupa antologi Kacamata Pengantin, Cobek Digital Emak, For The Love Mom, Kumpul Guru jadi Guru, Long Distance Friendship, The Girl Power.

2 comments

  1. Mau banyak belajar cara buat cerpen mba...

    ReplyDelete
  2. Ending cerpennya kok sedih semua sih Mbak Yurma? Jadi terbawa suasana, pengen nangis. Hiks...

    ReplyDelete

Terimakasih ya, telah berkunjung di blog saya. Bila ada waktu luang saya sempatkan berkunjung balik. Semoga silaturrahim kita terjalin indah.