Mendobrak Kemustahilan dengan Merajut Asa Menggapai Mimpi

Konten [Tampil]
Hampir tidak bisa dipercaya apa yang telah Allah berikan kepadaku saat ini. Setidaknya jika melihat ke belakang sunggu rasanya tidak sanggup berjalan menapaki jalan yang penuh liku.



Menjadi bagian dari barisan mahasiswa dengan almamaternya adalah sebuah kebanggaan untuk ayahku karena keadaan ekonomi yang pas-pasan saat itu, Ayah sendiri membesarkan dan menyekolahkan dengan segenap usahanya.

Keadaan ekonomi yang tidak punya, jauh dari kesan cukup, bahkan untuk makan saja harus menunggu hingga sore hari baru bisa membeli beras, rasanya sangat mustahil jika aku mampu menamatkan pendidikan tinggi kala itu.

Yah, ayah memiliki kemauan yang keras untuk menyekolahkan kami, ia punya mimpi yang tidak pernah kesampaian untuk dirinya sendiri kala itu, ia yang bercita-cita menjadi pengusaha dengan menempuh jalur pendidikan, berusaha sendiri dan berjuang sendiri.

Merajut Asa, Menggapai Mimpi

Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya jika saat ini dapat juga menjadi salah satu yang tercatat namanya sebagai mahasiswa. Yah, jangankan mengenyam bangku kuliah lengkap dengan gelar yang didapat, membayangkan saja tidak mungkin rasanya. Perekonomian orang tua yang pas-pasan adalah penyebab utama mengapa aku tidak pernah berani bermimpi kala itu. 

Namun tekad Ayah begitu kuat, kemauannya sangat keras untuk mengangkat derajat kami. 

“Biarlah dirinya yang akan berjuang, kalian harus menjadi ornag hebat“ kata Ayah suatu ketika”

Masa-masa itu sangatlah sulit sekali. Di tahun-tahun ketika kami duduk di sekolah dasar, kami harus merelakan kehilangan sosok Ibu. Sakit yang diderita Ibu harus berakhir dengan tangisan dan keikhlasan kami. Ibu menghadap Yang Maha Kuasa di usianya yang ke-27 tahun, masih sangat muda sekali, Aku saat itu berumur  9 tahun, sedangkan Adikku berumur 7 tahun. 

Ayah dengan segenap usaha dan pengorbanannya memeluk kami, berusaha untuk tegar dan menguatkan kami. Yang aku tahu betapa kerasnya keinginan beliau agar aku bisa bersekolah yang tinggi sudah sejak lama beliau rencanakan. 

Ketika kelas 6 SD ia sudah merelakan aku berjuang untuk sekolah dengan menitipkan kepada Saudara jauhnya. Yah, meskipun terpisah oleh jarak dengan Ayah dan adik, kami masih bisa bertemu ketika ayah menjengukku di kediamanku. Dalam diam aku sering menatap wajah ayah yang kepayahan menghadapi berbagai persoalan nya. Hutang-hutang ketika merawat Ibu sakit, biaya rumah sakit, pemakaman, hingga tradisi kematian yang menelan dana yang tidak sedikit membuat ayah harus berjuang sendiri melunasi semuanya. 

Dalam tradisi daerahku, orang yang meninggal harus dirayakan, malam ke 3, 7, 2 kali 7, 40, hingga 100 hari kematian dengan mengundang banyak orang untuk makan-makan layaknya pesta. Sekali acara paling tidak menghabiskan kambing satu ekor, beras 2 kaleng, hingga segala macam pendukungnya yang tentu sangat memberatkan bagi ayah. 

Dalam diam, aku melihat kerutan di dahi ayah kian jelas memikirkan bagaimana harus bertahan hidup membiayai dirinya sendiri, menyekolahkan kami hingga melunasi semua hutang-hutang itu. Ayah sangat lelah, itu yang setiap kali aku rasakan ketika melihatnya. Namun ia tetap memberikan uang belanja untukku,  
Tahun-tahun berikutnya, semakin sulit saja, ketika adikku juga harus sekolah jauh darinya, usaha ayah satu persatu mundur bangkrut dan mati. Satu-satunya yang bisa ia usahakan adalah cucian mobil alam tanpa selang, tanpa shower, tanpa mesin, mobil yang akan di cuci harus nyemplung dalam kolam yang mengalir lalu ayah akan mencuci mobil tersebut dengan cara mengguyurnya dengan menggunakan ember, persis seperti memandikan kerbau di kolam. 

Dari usaha cucian itulah akhirnya aku dan adikku menyelesaikan sekolah dasar, SMP, SMU, dan akhirnya dapat mengenyam bangku kuliah.

Setiap kali bertemu dengan teman-teman lamanya ayah selalu mendapatkan guyonan tentang kesendiriannya. Ia tak mau menikah sejak meninggalnya Ibu. 
Aku sendiri tak tau jawabannya, mengapa hingga sekarang ayah tak juga mau menikah lagi. Hingga akhirnya saat aku dipinang oleh suamiku, aku baru tau alasannya. 

Saat itu ayah dan calon suamiku berkeliling mengantarkan undangan pernikahan kami, saat itu ia meminjam kendaraan temannya, suamiku cerita, saat diperjalanan ia sempat beberapa kali melihat mata ayah sembab, ayah bercerita tentang sosok Ibu. 

“Tak pernah sekalipun Ibu marah, dalam kondisi apapun ia sangat sabar. Tidak ada yang bisa menyamai Ibu.” Begitu tutur ayah.

Aku menangis mendengar cerita tentang Ibu, sebuah sifat yang tentu jauh berbeda dengan ku, Ibu adalah seorang yang sangat dikagumi oleh ayah. Ibu cinta mati ayah, sehingga ayah begitu sulit menemukan orang yang akan menggantikan nama Ibu di relung hatinya. 

Setelah menikah, akhirnya aku harus ikut dengan suamiku, meninggalkan ayah dengan segala ruang di hatinya yang masih kosong. Ayah harus sendiri, apalagi ketika adikku juga berkeluarga dan memilih untuk tidak tinggal bersamanya. 

Dalam sebuah perjuangan meraih apa saja, aku banyak belajar darinya. Semua di usahakan meskipun harus berkorban apa saja. 

Sering aku menemukan dompetnya kosong, yang tersisa hanyalah selembar uang lima ribuan saja. Dan selembar itu diserahkan kepadaku untuk ongkos ke sekolah. 

Dan saat ini,

Dengan segala yang dianugerahkan kepadaku hingga sampai pada bangku kuliah lanjutanku sosok ayah masih saja menjadi pemacu semangatku untuk meraih asa. Terbayang keinginannya untuk dapat melihat aku memakai toga, mendapatkan gelar dan dihargai di masyarakat menjadi sebuah lecutan semangatku untuk berusaha bersungguh-sungguh meraih setiap mimpiku.

Dan aku bersyukur saat ini diberikankeluarga, anak-anak dan suami yang menyokongku sepenuh jiwa raga mengantarkanku ke puncak cita-cita yang menjadi keingian dan kebanggaan bersama. 

Satu yang tidak pernah aku lupakan yaitu tawakal. Karena yang maha pemberi takdir tidak tidur dan tetap terjaga memberikan jalan dan ruang bagi hambanya yang sedang berjuang untuk sukses. 

Tidak berhenti di tengan jalan, selalu berpikir positif dan berjuang maksimal adalah kunci sebuah keberhasilan.  

Ceritaku ini sama halnya dengan pengalaman yang diungkapkan oleh temanku Nurul Rahma yang akan Pergi ke Amerika, Hidayah Qudus, Maria Soraya, Ike Yuliastuti serta Petualangan Ze & Ra yang Berpetualang ke Bali, eh ada mba Kanianingsih juga yang akan bercerita tentang mendobrak Kemustahilan.

 Yuk simak cerita mereka. 

Kemustahilan yang berhasil mengantarkan mereka ke puncak impian. Jangan takut untuk bermimpi, kejarlah mimpi dengan cara dan jalan yang benar dan keridhoan dari Allah SWT itu yang paling utama. 

Banyak cara dan jalan  yang tidak benar akan menemukan ujung yakni kesengsaraan. Maka jauhilah, tetapkan koridor Allah adalah satu-satunya jalan yang harus di tempuh, Koridor yang penuh dengan aturan yang jelas, halal dan haramnya. Jangan sekali kali mencoba bermain-main dengan yang mubah. 

9 comments

  1. Allahu Akbar! Maha Besar Allah yang telah anugerahkan ketangguhan luar biasa pd Ayahanda ya mbaa
    Bukanbocahbiasa(dot)com

    ReplyDelete
  2. Subhanallah ya mbak perjuangan ayah mbk. Menjadi inspirasi tuk.anak2nya.

    ReplyDelete
  3. sosok ayah yang luar biasa, alhamdulillah ya mba,..

    ini menginspirasi dan menjadikan semangat banget

    ReplyDelete
  4. Di daerah saya juga masih ada tradisi ngundang orang uyk mendoakan yg meninggal. Suami saya lebi keras dlm agama. Tidak ada sama sekali tradisi

    Semoga kita semua bs mendobrak kemustahilan dalam hal yg baik ya

    ReplyDelete
  5. aku udah baca tempo hari, ternyata komenku belum masuk ya

    semoga bapakmu mak yurmawita senantiasa sehat, terharu aku dengan perjuangan bapakmu ...

    ReplyDelete

Terimakasih ya, telah berkunjung di blog saya. Bila ada waktu luang saya sempatkan berkunjung balik. Semoga silaturrahim kita terjalin indah.